Tampilkan postingan dengan label Inspirasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Inspirasi. Tampilkan semua postingan

Kisah Hidup Dari Kepahitan Menjadi Pengampunan

Maret 23, 2020
Photo ilustrasi kesaksian hidup anak-anak Tuhan

Gmimbetel Saya tak bermaksud tumbuh dalam kepahitan, semasa kecil saya adalah anak baik, patuh kepada orang tua  menghormati guru-guru di sekolah minggu dan belajar sungguh-sungguh di sekolah. saya mengejar orestasi yag tinggi dan berusaha melakukan yang terbaik  tiap hari.

Namun ada saja orang yang berlakuk kasar terhadap saya karena warna kulit saya. Mereka mengejek, mentertawakan, menyingkirkan dan menolak saya. 

Di sekolah ada guru yang tidak mau memanggil nama saya, ia menyebut saya "si Anu" itu bukti bahwa saya tidak di anggap sama sekali. hukum di negara saya melarang saya untuk menggunakan sarana umum seperti kran air minum, toilet, rumah makan tertentu, atau untuk tinggal di wilayah tertentu juga.

Baca Juga : Renungan Hidup I Korintus 3 ; 1-9

Dalam sekejap kepahitan mulai mengakar dalam hati saya. saya memang mengenal Yesus, namun saya juga terluka dan perasaan terluka itu menyuburkan kepahitan yang terus merebak seperti rumput liar. Kepahitan itu bagaikan akar yang merasuk semakin dalam di hati dan jiwa kita. ketika di siram dengan kebencian dan kemarahan, kepahitan itu membawa kesukaran dan merusak banyak orang.

Tiap orang di sekitar saya membenci seseorang.saya juga belajar membenci dari mereka saya mengajarkan kebencian kepada orang lain. sungguh tragis  dampaknya ketika kepahitan yang berlipat ganda menghasilkan kerusakan yang lebih besar.

Namun bagaimana dengan Allah? walaupun saya mengasihi Tuhan dan percaya Dia mengasihi saya, kepahitan saya menjadi dinding dosa, yang memisahkan saya dari-NYA. 

Makin lama dinding pemisah itu makin lebar. kepahitan membuat saya terbiasa membenci, sinis dan menggerutu. saya lupa serua Alkitab untuk "hidup damai dengan semua orang dan mengejar kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorang pun akan melihat Tuhan (Ibrani 12:14).

Saya justru terobsesi dengan kebencian rasial dan menunjukannya kepada orang lain tidak untuk membereskannya atau meminta Allah membuangnya, tetapi mengingatkan kita "Segalah kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, dan fitnah hendaklah di buang dari antara kamu demikian pula segalah kejahatan" (Efesus 4:31).

Kita memang mengalami ketidakadilan di dalam dunia tetapi kejahatan itu adalah penyakit yang membahayakan kedamaian dan keadilan Allah pun terhalang. 

Namun bagaimana kita membuang kepahitan semacam itu? Ketika saya meminta pertolongan kepada Allah dengan kasihNYA, Dia memberikan tiga cara untuk melakukannya.

1.Serahkan Kepahitan itu Kepada Allah

Mintalah Dia  mencabut kepahitan itu sampai keakar-akarnya dan membuangnya. itulah serua Ayub dalam penderitaanya : "Ingatlah bahwa hidupku hanya hembusan nafas; oleh sebab itu akupun tidak akan menahan mulutku , aku akan berbicara dalam kesesakan jiwaku mengeluh dalam kepedihan hatiku (Ayub 7:7-11)

Dalam pergumulannya dengan kepahitan Ayub tahu hanya Allah dapat menolongnya. demikian juga dalam hidup saya dengan Allah satu-satunya yang sanggup melepaskan saya, saya pun memohon pertolongannya. Sebagai jawaban, 

Tuhan memberikan resep yang akan menyembuhkan saya: " Kamu harus mengampuni" segera saya menyadari hikmat ilahiNYA. Pengampunan adalah jawabannya untuk saya, namun bagaimana saya dapat mengampuni?

2.Meminta Allah Untuk Mengajar Anda 

Saya belajar bahwa pengampunan bukanlah sebuah tindakan melainkan proses. itulah yang di nyatakan Yesus dalam Matius 18 : 21-22. Petrus sang murid bertanya tentang caranya mengampuni saudaraku jika ia berbuat terhadap aku?sampai tujuh kali?"

Jawaban Yesus jauh melebihi batas itu dan juga melebihi standar orang Yahudi untuk mengampuni sebanyak tiga kali. "Aku berkata kepadamu: 

Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh pulu kali tujuh kali" dengan kata lain pengampunan tidak dapat di ukur. Bahkan pengampunan bukanlah tentang orang yang melukai kita. Pengampunan adalah tentang pemulihan hubungan dengan Allah terlebih dahulu baru sesudah itu kita dapat mengasihiNYA.

3. Andalkan Kuasa Roh Kudus

Pengampunan memang butuh kerja keras. dengan kekuatan sendiri kita tidak mampu memulihkan luka hati yang begitu dalam hingga membuat kita mengalami kepahitan. Namun, saat meminta Roh Kudus untuk menguatkan kita. kuasaNYA memampukan kita, 

setelah itu orang lain melihat kerya-NYA dalam diri kita. pengampunan kita menjadi kesaksian seperti janji Yesus :
"Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun keatas kamu dan kamu akan menjadi saksiKU di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai keujung bumi (Kis 1:8)

Bayangkan mujizat itu! Kita menyerahkan kepahitan kita kepada Allah kemudian kita meminta Allah untuk mengajar kita mengampuni. 

Saat bergumul, kita meminta Roh Kudus untuk memampukan kita  setelah itu, pengampunan yang dimampukan itu menjadi kesaksian bagi Kristus. apa yang tadinya adalah akar kepahitan, kini dalam kristus telah tumbuh dan mekar menjadi bunga yang indah.

Baca Juga : Renungan Harian Keluarga 

Tentu saja "tanah" hati saya perlu selalu di olah. namun saya mengenal Tuhan, sang pemelihara hati saya.Kiranya kasih-NYA terus mengubah kepahitan saya yang berdosa menjadi tuaian kasih karunia dan terang yang melimpah.

Penulis : Patricia Raybon (seorang jurnalis, guru/penulis) saduran ssantapan rohani vol.15

Komunikasi yang Baik Mendantangkan Berkat

April 05, 2019

 "Lidah orang bijak mengeluarkan pengetahuan, tetapi mulut orang bebal mencurahkan kebodohan" (Amsal 15:2) 

Berangkat dari teori Multiple Intelligence, Howard Gardner dari Universitas Harvard menemukan bahwa seorang pemimpin memiliki “lingustic intelligence” (kecerdasan berbahasa).

Artinya, seorang pemimpin dapat memakai bahasa, baik dengan kata-kata maupun tulisan, untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Memang tidak semua pemimpin memiliki tingkat kecerdasan yang sama.

Namun, kecakapan dalam berkomunikasi bisa diperoleh melalui proses belajar. Winston Churchill memenangkan perang melawan tirani Jerman melalui proses komunikasi dengan rakyatnya. Satu hal yang tidak banyak diketahui orang tentang orator yang hebat ini adalah ternyata Churchill mengidap cacat bicara yang cukup parah pada masa kecilnya.

Alih-alih menyebabkan patah semangat dan minder, Churchill justru mulai mempelajari Shakespeare dan Alkitab bahasa Inggris, King James Version, dengan sungguh-sungguh. Kisah Churchill menunjukkan betapa seorang pemimpin harus terus belajar berkomunikasi.

 Kunci keberhasilan seorang pemimpin dalam berkomunikasi adalah kejernihan pikiran dan kejelasan akan apa yang hendak disampaikan, bukan sekadar kalimat-kalimat indah yang tak jelas maknanya. Satu contoh yang dapat kita lihat, saat berkhotbah di bukit, Yesus menggunakan bahasa yang sederhana. Namun ketika berbicara dengan Nikodemus, seseorang yang terpelajar, Ia menggunakan bahasa yang filosofis.

 Bagi seorang pemimpin Kristen, kualitas komunikasi dengan Tuhan berperan penting dalam komunikasinya dengan sesama. Semakin dalam komunikasinya dengan Tuhan, semakin ia memahami apa yang Tuhan ingin ia perbuat terhadap diri, sesama, dan lingkungannya. Bila komunikasi dengan Sang Pencipta tidak berjalan lancar dan baik, komunikasi dengan sesama menjadi tidak efektif karena ia tidak bisa memahami sesamanya.


Banyak masalah yang disebabkan kegagalan seseorang dalam berkomunikasi. Kesuksesan kepemimpinan, pekerjaan, dan hubungan-hubungan pribadi Anda sangat tergantung pada kemampuan Anda berkomunikasi.

Orang takkan mengikuti Anda jika mereka tidak tahu apa yang Anda inginkan atau ke mana tujuan Anda. Anda dapat menjadi komunikator yang lebih efektif jika mengikuti empat kebenaran dasar berikut ini. Sederhanakanlah Pesan Anda.Komunikasi bukanlah sekadar soal apa yang Anda ucapkan, melainkan juga bagaimana Anda mengucapkannya. Kunci komunikasi yang efektif adalah kesederhanaan.

Lupakanlah upaya mengesankan orang lain dengan kata-kata atau kalimat-kalimat yang canggih. Jika Anda ingin membina hubungan dengan sesama, utamakanlah kesederhanaan. Napoleon Bonaparte selalu mengatakan kepada para sekretarisnya, "Ayo yang jelas, yang jelas". Seorang eksekutif junior diundang untuk berbicara kepada orang banyak untuk pertama kalinya.

Maka, ia pun mendekati pembimbingnya untuk meminta nasihat tentang berpidato yang baik. Kata pembimbingnya, "Siapkanlah pembukaan yang bersemangat, yang akan menarik perhatian seluruh hadirin. Lalu siapkanlah rangkuman serta penutupan yang dramatis, yang akan membuat orang jadi ingin bertindak. Lalu janganlah bertele-tele di tengah-tengahnya."

  Pandanglah Lawan Bicara Anda. Komunikator yang ulung berfokus pada lawan bicaranya. Mereka tahu bahwa tidak mungkin berkomunikasi dengan efektif kepada hadirin tanpa mengetahui apa pun menyangkut mereka. Sementara Anda berkomunikasi dengan orang -- entah secara individu atau secara kelompok -- tanyakanlah pertanyaan-pertanyaan ini kepada diri sendiri. Siapakah pendengar saya? Apakah pertanyaan-pertanyaan mereka? Apakah yang perlu dicapai? Dan berapa banyakkah waktu yang saya miliki? Jika Anda ingin menjadi komunikator yang lebih baik, berorientasilah pada pendengar. Orang mempercayai komunikator ulung karena komunikator ulung itu pun mempercayai orang.

Tunjukkanlah Kebenaran. Kredibilitas mendahului komunikasi yang hebat. Ada dua cara untuk menyampaikan kredibilitas kepada pendengar Anda. Pertama, percayalah kepada apa yang Anda ucapkan. Orang biasa akan menjadi komunikator ulung jika memiliki semangat keyakinan yang tinggi. Jendral Lapangan Ferdinand Foch berkata, "Senjata yang paling ampuh di bumi adalah jiwa manusia yang berkobar-kobar." Kedua, amalkanlah ucapan Anda. Tak ada kredibilitas yang lebih besar ketimbang keyakinan pada tindakan.

Tariklah Respons. Sementara Anda berkomunikasi, janganlah pernah lupa bahwa sasaran dari komunikasi adalah tindakan. Jika Anda melemparkan sejumlah informasi kepada orang lain, Anda bukan sedang berkomunikasi. Setiap kali Anda berbicara kepada orang lain, berilah mereka sesuatu untuk dirasakan, diingat, dan dilakukan. Anda pasti bisa.

Buku sumber: 21 Kualitas Kepemimpinan Sejati
Penerbit: Interaksara, Batam Centre 2001
Penulis: John C. Maxwell

Ukuran dan Pandangan Manusia Terhadap Sesama

April 01, 2019

Memang sudah menjadi kecenderungan manusia untuk menilai orang pertama-tama dari apa yang bisa dilihat oleh mata. Tidak jarang, penilaian yang kita buat jauh berbeda dengan kenyataannya.

Dalam pergaulan, kerap kali kita melihat kenyataan yang jauh berbeda dengan apa yang kita harapkan dan nilai sebelumnya. Seorang teman yang kita anggap menyenangkan, setelah sekian waktu lamanya mengenalnya lebih jauh, ternyata mempunyai ‘karakter’ yang tidak menyenangkan, misalkan perkataannya tidak bisa dipegang, suka melebih-lebihkan sesuatu, atau suka berbohong.

Tidak cuma dalam pertemanan sebaya, kita juga kerap mendapati orang tua yang seharusnya memberi teladan menginginkan kita berteman dengan orang yang kriterianya sesuai aturan mereka. Misalkan saja, orang itu punya jabatan tertentu, kaya raya, latar pendidikannya oke, penampilannya keren, dan sebagainya.  Ribetnya lagi, kalau maunya orang tua ini juga berlaku buat calon menantunya.


Baca Juga : Hidupkah Kesaksian Saya


Kita semua pernah membuat penilaian yang salah tentang orang lain, terlalu cepat menilai orang lain, atau bahkan menghakimi mereka. Dua pelajaran berharga yang perlu kita ingat setiap kali ‘terpancing’ untuk langsung menilai orang tanpa mengenal dia lebih dahulu, yaitu ‘Apa yang kamu tabur, itu yang kamu tuai’ dan ‘Apa yang kamu inginkan orang lain perbuat untukmu, perbuatlah demikian untuk mereka’.  Contohnya simpel saja.

Coba perhatikan dalam kehidupan sehari-hari kita. Berapa banyak kebencian yang kita taburkan, berakhir dengan menuai kebencian. Berapa banyak kebohongan yang kita taburkan, berakhir dengan menuai kebohongan.

Berapa banyak penghakiman yang kita lontarkan berakhir dengan menuai penghakiman. Dari mana menuai itu akan datang, itu bisa mengambil banyak cerita. Bisa dari orang yang kita benci atau bohongi, bisa pula dari orang lain.

Menuainya pun bisa terjadi dalam waktu yang cepat, bisa pula terjadi bertahun-tahun kemudian.  Saat kita menyadari betapa sakitnya dibenci, dibohongi, dan sebagainya, kita mulai tersadar dan syukur-syukur belajar bahwa bisa jadi ‘sakit hati’ yang kita alami itu berasal dari ‘sakit hati’ yang kita taburkan. Jikalau kita dengan mudah menilai orang dan menjelek-jelekkannya, jangan heran bila suatu waktu, kita malah dinilai orang dan dijelek-jelekkan. Di sinilah kita mulai belajar untuk berhati-hati dalam menilai orang lain.

Dosa menghalangi kita untuk menilai orang lain dari kacamata kasih karunia Allah. Dosa menghalangi kita untuk menjadi saksi Kristus. Dosa menghalangi kita untuk dengan penuh keberanian menegur saudara-saudara kita yang berbuat salah. Bahkan dosa membuat kita menghakimi orang lain sebagai pelampiasan atas kegagalan yang kita hadapi sendiri.


Baca Juga : Warisan Terbaik Untuk Cinta Kasih


Seringkali, penilaian yang kita buat terhadap orang lain merupakan cermin bagaimana kita menilai diri sendiri. Hati-hati, frustasi pada diri sendiri bisa membuat kita jadi seorang munafik yang suka menghakimi orang lain.

Hari ini kita belajar beberapa hal yaitu jangan terlalu cepat menilai orang lain karena penampilan luarnya saja. Kalaupun kita menilai orang lain, kita harus senantiasa ingat dan bertanya pada diri sendiri, “Apakah aku sudah taat melakukan kebenaran?” Kalau jawabannya ‘ya’, berdoalah dengan sepenuh hati agar Tuhan membantu kita menilai (melihat) orang lain dari kacamata kasih karunia Allah. Kalau dia salah, kita menegurnya. Kalau dia benar, kita mendukungnya.

Kalau jawabannya ‘tidak’, bahkan sudah terbiasa ‘tidak’, ini waktunya untuk berubah. Karena orang yang paling malang di dunia ini, adalah orang yang tahu apa yang benar dan harus dikerjakan, tapi selalu kalah dengan melakukan apa yang salah.

Kalaupun kita sudah berusaha dan mendapati kita malah berbuat yang salah, ini suatu pertanda, kita harus menyerahkan diri sepenuhnya kepada Dia yang akan memampukan kita. Kekuatan kita sendiri tidak akan pernah bisa membuat kita berubah. Hanya Kristus melalui kasih dan setia-Nya yang akan memampukan kita. (unitedfool)

Warisan Terbaik Untuk Cinta Kasih

Maret 31, 2019

“Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, 
dan biarlah hatimu memelihara perintahku.  Maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia”  (Amsal 3:1,4)

Ada sebuah perumpamaan tentang seorang ibu muda yang bertanya kepada pemandunya, "Apakah jalannya panjang?" Si pemandu berkata, "Ya, panjang dan sulit. Engkau akan menjadi tua sebelum mencapai akhirnya, namun akhirnya akan lebih baik daripada awalnya." Si ibu muda senang mendengar kabar itu namun tak dapat membayangkan saat yang lebih baik daripada hari-hari ketika ia bermain dengan anak-anaknya, mengumpulkan bunga untuk mereka, dan mandi bersama mereka di sungai yang jernih.

Lalu malam tiba, dan badai pun datang. Anak-anaknya gemetar ketakutan dan kedinginan dan ibu mereka menarik mereka mendekat padanya. Mereka berkata, "Kami tidak takut, karena Ibu dekat." Si ibu berkata, "Ini lebih baik daripada cerahnya siang; aku telah mengajar keberanian pada anak-anakku."


Baca Juga : Menguak Rahasia Paskah dalam Simbol Telur dan Kelinci


Hari berikutnya, si ibu dan anak-anaknya mendaki bukit yang curam. Ketika mereka mencapai puncaknya, anak-anaknya berkata, "Kami takkan dapat melakukannya tanpa Ibu." Si ibu berkata, "Ini hari yang lebih baik daripada yang terakhir, karena anak-anakku telah belajar tabah. Aku telah memberi mereka kekuatan."

Keesokan harinya datanglah awan kegelapan yang aneh - awan peperangan, kebencian, dan kejahatan.  Anak-anak itu meraba-raba dan tersandung-sandung dan gemetar namun ibu mereka berkata, "Tujukan mata kalian pada Terang." Malam itu ia berkata, "Ini adalah hari terbaik dari semuanya, karena aku telah menunjukkan Tuhan kepada anak-anakku."

Dan demikianlah, setiap hari lebih baik daripada hari sebelumnya, sampai ia mati dan memulai harinya yang paling mulia.

Hidupkah Kesaksian Saya ?

Maret 25, 2019


"Sebab dari buahnya pohon itu dikenal" (Matius 12:33)

Gmimbetel Pintukota - Seorang pendeta dijadwalkan untuk berbicara di sebuah konferensi sehari. la lupa menyetel wekernya, dan ketiduran. Dalam ketergesaannya untuk mengejar waktu yang hilang, ia tergores saat bercukur.

Lalu, ia mendapati bajunya belum diseterika, ia pun memanaskan seterika sambil mandi, tapi ternyata kemudian menghangus bajunya karena seterikanya menjadi terlalu panas. Yang membuat keadaan lebih buruk lagi, saat ia berlari keluar ke mobilnya, ia melihat satu bannya kempes.

Dongkol dan kalut, pada saat ia selesai mengganti ban itu ia sudah terlambat satu jam dari jadwal. Betapapun, si pendeta merasa memiliki harapan saat ia akhirnya “di jalan” (on the road).  la memperkirakan bahwa kalau ia bisa ‘ngebut, ia mungkin hanya terlambat beberapa menit untuk sesi pertama.  Ia pun melesat melintasi kota, tidak melihat sebuah tanda berhenti di jalan.

Saat ia menerobos tanda itu, ia melihat kelebatan seorang polisi, yang sudah tentu, menyuruhnya berhenti.

Melompat keluar dari mobilnya, si pendeta yang kesal berkata tajam, “Ayo, tilang saja saya. Semuanya sudah serba kacau-balau hari ini.” Si polisi dengan tenang menanggapi, “Dulu saya mengalami hari-hari seperti itu sebelum saya menjadi seorang Kristen.” jadi intinya
“Orang mungkin meragukan apa yang akan Anda katakan,  tetapi mereka akan mempercayai apa yang Anda lakukan”

Jadilah sesuatu yang kita lakukan sebagai tindakan yang menyatakan itulah fakta sesungguhnya dari apa yang kita perbuat sehingga orang akan melihat kualitas bibit yang sangat unggul sehingga saatnya berbuah kualitas itu tidak berubah.

Soli deo Glorya