Puasa Dalam Alkitab

Maret 27, 2019
Rabu, 27 Maret 2019

Gmimbetel Pintukota - Pendahuluan - Tulisan ini lebih bersifat informatif, yakni memberi data-data tentang puasa dan praktek puasa dalam Alkitab baik dari Perjanjian Lama (PL), maupun dari Perjanjian Baru (PB). Walaupun demikian, pada bagian akhir tulisan ini, saya akan memberikan semacam refleksi teologis tentang puasa secara umum, dan puasa  diakonal secara khusus.

Bagian pertama tulisan ini adalah penjelasan singkat tentang pengertian istilah puasa, secara umum dan secara khusus dalam hubungan dengan penggunaannya dalam Alkitab.

Bagian selanjutnya berupa uraian atau analisis tentang praktek puasa itu sendiri, bentuk-bentuk dan maksud-maksud puasa itu dalam praktek kehidupan keagamaan umat/jemaat, baik dalam PL, maupun dalam PB. Sebagai penutup dari tulisan ini, yaitu:  beberapa catatan reflektif tentang puasa (ritual/penyembahan) dan secara khusus puasa diakonal.

Tentang Istilah Puasa

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, puasa diartikan: menghindari makan dan minum dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan). Kata Yunani nesteuo( kata kerja yang berarti  berpuasa; nesteia, kata benda yang berarti puasa) yang dipakai dalam PB, mempunyai makna yang sama dengan istilah Ibrani tsum, (kata kerja yang berarti berpuasa; tsom, kata benda yang berarti puasa) yang dipakai dalam PL; artinya menunjuk pada tindakan tidak makan atau menghindar dari makanan, atau tanpa makan (mis. Kel.34:28; Ul.9:9; Ester 4:16; Lukas 5:33).

Dalam PL, kata ini dihubungkan juga dengan ungkapan dalam bahasa Ibrani innah nefesh (secara harafiah berarti merendahkan diri), yang menunjuk pada upacara penyucian dimana puasa merupakan bagian daripadanya (Imamat 16:29,31; 23:27; Bil.29:7; Yes.58:3; Maz.35:13). Dari ayat-ayat ini, jelas bahwa berpuasa merupakan akta atau tindakan merendahkan diri.

Bentuk dan Maksud Puasa Berdasarkan PL 

Di Israel, puasa dilakukan sebagai persiapan untuk berkomunikasi dengan Allah (Dan.9:3; Kel. 34:28; Ul.9:9). Puasa dilakukan oleh individu yang menghadapi tekanan atau beban hidup yang berat.

Daud, misalnya, dikatakan berpuasa untuk memohon supaya Tuhan menyelamatkan anaknya dengan Batsyeba yang sedang sakit keras (2Sam.12:16-23); Ahab berpuasa sebagai tanda berkabung sehubungan dengan hukuman yang akan ia terima karena kejahatan yang ia lakukan terhadap Nabot (1Raja-raja 21:27).

Pemazmur berpuasa ketika ia sakit (Mazmur 35:13), dan dalam menghadapi pergumulan berat ( Maz. 69:11) ; Daniel berpuasa  sehubungan dengan malapetaka yang akan ditimpakan pada umat Yahudi (Dan.9:3); Nehemia berpuasa ketika mendengar berita tentang kesukaran besar yang menimpa orang-orang Yahudi yang tinggal di Yerusalem ( Neh.1:4). Puasa dilakukan juga oleh umat/bangsa :
  1. menghadapi bahaya perang atau kehancuran. Orang Israel berpuasa  menghadapi perang melawan suku Benyamin yang telah menelan korban 18.000 orang dari antar mereka (Hakim-hakim 20:26); sebelum berperang melawan orang-orang Filistin; dalam rangka menghadapi serangan bani Moab dan Amon ( 2Taw.20:3); menghadapi ancaman pemusnahan orang Yahudi oleh  raja Ahazweros (Ester 4:16); menghadapi ancaman malapetaka (Yunus3:4-10). 
  2. menghadapi  tulah belalang  yang menimpa negeri mereka (Yoel 2:12).
  3. diberikan kelancaran perjalanan pulang  orang-orang yang kembali dari  pembuangan (Ezra 8:21-23).
  4. sebagai suatu ritus ibadah pengakuan dosa (Neh.9:1)
  5. dalam hubungan dengan menangisi kematian seseorang; umat berpuasa karena kematian Saul  ( 1Sam.31:13/1Taw.10:12).
Dari data-data di atas,  penting untuk dicatatkan di sini bahwa 
  • Puasa dan doa berjalan bersama-sama. Perhatikan ungkapan-ungkapan ini : . . berdoa dan bermohon, sambil berpuasa  (Dan.9:3), berpuasa dan berdoa (Neh.1:4), memohon kepada Allah  ia berpuasa (2Sam12:16-23), berpuasa. . dan doaku (Maz.35:13),  beruasa. . aku berdoa (Maz.69:11),  berpuasa. . dan meminta pertolongan Tuhan (2Taw.20:3), berpuasa . . berseru dengan keras kepada Allah (Yun.3:4-10), berpuasa dengan menagis dan mengadu (Yoel 2:12), merendahkan diri di hadapan Allah, memohon . . berpuasa dan memohon kepada Allah (Ez.8:21-23),  berpuasa, mengucapkan pengakuan dan sujud menyembah kepada Allah (Neh.9:1), (Lihat juga Yer.14:11-12). Jadi, puasa dilakukan  dalam rangka doa. Dalam hal ini, puasa hendak memberi sifat dari pada doa itu sebagai doa yang dilakukan secara intens dan bersungguh-sungguh. Karena itu juga dikatakan misalnya umat berpuasa dan berkabung atau berkabung dan berpuasa (Neh.9:1; Ester 4:3; 9:31).
  • Puasa dilakukan karena menghadapi peristiwa-peristiwa tertentu dalam hal ini, bahaya, malapetaka, kesulitan, kemalangan dan kematian. 
  • Sudah disebutkan di atas, bahwa puasa sangat berkaitan dengan hal merendahkan diri (Imamat 16:29,31; Yes.58:3, 5; dll).
Puasa biasanya dilakukan dari pagi sampai petang (Hak.20:26; 1Sam.14:24; 2Sam.1:12); walalupun dalam Ester 4:16 dikatakan berlangsung selama 3 hari; atau 7 hari menurut 1Sam.31:13.
Nabi-nabi, kemudian mengeritik praktek puasa umat yang tidak lagi merupakan ekspresi dari kerendahan mereka di hadapan Allah, tetapi telah dilihat sebagai suatu prestasi kesalehan.

Sebagai tanda atau akta merendahkan diri di hadapan Tuhan, atau sebagai tanda penyesalan atas dosa-dosa dan karena itu menjadi titik tolak permulaan hidup baru, hidup dalam pertobatan, puasa hendaknya bermuara atau berimplikasi pada perwujudan kehendak-Nya atau ke-rajaan-Nya di bumi, yaitu: usaha-usaha penegakan keadilan dan kebenaran serta kesejahteraan (aspek diakonal).

Bahwa komunikasi atau hubungan umat (pribadi atau persekutuan) dengan Tuhan, dijalin, bukan hanya melalui doa yang intens dan bersungguh-sungguh serta dalam kerendahan hati di hadapan Allah, sebagaimana yang dimaksudkan oleh praktek puasa itu sendiri, tetapi juga melalui kepatuhan dan ketaatan umat kepada-Nya, dalam hal membebaskan orang-orang yang tertekan dan teraniaya, berbagi dengan orang-orang miskin, yang tak punya makanan, pakaian dan perumahan  (Yes.58:3-7).
Berdasarkan PB

Baca Juga : Hidupkah Kesaksian Saya

Dalam surat-surat Paulus secara khusus, tidak ditemukan  informasi tentang praktek puasa yang dilakukan oleh jemaat-jemaat  yang berlatar belakang Yunani, kecuali dalam 2 Korintus 6:5 dan 11:27 dimana puasa disebutkan dalam konteks pengalaman pribadi Paulus.

Jadi, rasul Paulus sendiri tidak mengamanatkan puasa itu untuk dilakukan oleh jemaat-jemaat yang ia layani pada waktu itu. "Lukas" dalam tulisannya yang kedua, Kisah Para Rasul  menyebut jemaat  di  Antiokhia yang berpuasa dalam rangka ibadah pengutusan Saulus dan Barnabas untuk tugas pemberitaan firman (Kis.13:2,3).

Dikatakan pada ayat 3  : Maka berpuasa dan berdoalah mereka . . . Jadi, mereka mendoakan Paulus dan Barnabas dalam rangka tugas pemberitaan firman. Puasa, dalam hal ini mendukung doa.

Ungkapan berdoa dan berpuasa,  hendak menunjuk pada doa yang dilakukan secara intens dan bersungguh-sungguh..

Demikian juga dalam Kis.14:23 disebutkan tentang rasul-rasul dan jemaat yang berdoa dan berpuasa dalam rangka menyerahkan penatua-penatua kepada Tuhan yang mempercayakan tugas melayani melalui penetapan oleh rasul-rasul.

Pandangan baru dalam hubungan dengan persoalan puasa terungkap secara jelas dalam kata-kata Yesus sendiri sebagaimana disaksikan oleh ketiga Penginjil Markus, Matius dan Lukas (Mark.2:18-20; Maitus 9:14-17; Lukas 5:33-35).

Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama-sama dengan mereka  (Mark.2:19).  Perkataan Yesus ini merupakan jawaban-Nya atas pertanyaan orang-orang,  (Mark.2:18)  murid-murid Yohanes  (Mat.14), orang-orang Farisi (Lukas 5:33) yang datang kepada Yesus dan mempersoalkan murid-murid-Nya yang tidak berpuasa, padahal murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi, berpuasa.

Dalam konteks perkataan Yesus di atas, berpuasa yang dimaksudkan menunjuk pada tindakan merendahkan diri, berkabung sehubungan dengan penantian mempelai (Mesias). Dari ucapan Yesus itu, jelas bahwa Yesus telah menunjukkan bahwa Dialah Mesias itu. Dan karena itu, kehadiran Mesias, kabar baik tentang keselamatan itu tidak tergantung pada perbuatan manusia.

Dan bahwa kehadiran sang Mempelai itu merupakan berita sukacita. Dalam terang pemberitaan Yesus yang berpusat pada Mesias itu, puasa merupakan sesuatu dari masa lampau, masa yang telah berlalu.

Inilah yang dimaksudkan oleh Yesus, ketika ia memberi penjelasan lebih lanjut melalui perumpamaan tentang secarik kain yang belum susut pada baju yang tua  dan anggur yang baru dalam kantong kulit yang tua (Mark. 2:21 dan paralelnya). Dengan demikian apa yang dikatakan oleh para penginjil ialah bahwa puasa itu telah digantikan oleh Yesus.

Tetapi Yesus sendiri tidak mengkritik praktek puasa itu sendiri. Yang Ia kritik ialah pemahaman mereka tentang puasa (demikian juga ketentuan-ketentuan keagamaan lainnya) sebagai syarat keselamatan atau sebagai syarat pembenaran. Orang Farisi yang menganggap diri benar karena menuruti semua ketentuan agama termasuk berpuasa, justru pulang sebagai orang yang tidak dibenarkan oleh Allah (Luk.18:9-14).

Yesus mengkritik juga puasa dan doa yang dilakukan oleh orang-orang Farisi, semata untuk  memenuhi ketentuan agama, sebagai suatu prestasi kesalehan untuk membenarkan diri sendiri.

Demikian juga Yesus mengkritik praktek puasa yang dilakukan oleh orang-orang munafik. Dikatakan mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat mereka sedang berpuasa, padahal mereka tidak berpuasa (Matius 6:16). Apa yang Yesus anjurkan ialah apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu, supaya jangan dilihat orang bahwa engkau sedang berpuasa, melainkan hanya Bapamu yang ada di tempat tersembunyi (Mat.6:17-18).

Yesus mengkritik puasa yang dilakukan sekedar untuk supaya dilihat orang, untuk pamer.
Walaupun Yesus telah memenuhi atau menggenapkan puasa (dan semua ketentuan keagamaan, band. Mat.5:17), tetapi Yesus tidak mengatakan ”tidak”terhadap puasa itu.Yesus sendiri,  sebagaimana disaksikan oleh Penginjil Matius, dikatakan berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam (Mat.4:2; dalam Lukas hanya dikatakan : selama di situ, yaitu: selama empatpuluh hari di padang gurun Yesus tidak makan Luk.4:1,2);

Kitab Markus yang justru menjadi sumber penulisan kisah itu oleh kedua penginjil itu tidak menyebutkan bahwa Yesus berpuasa (Mark.2:12,13). Tetapi, ketiga Penginjil sama dalam hal menempatkan kisah pencobaan Yesus itu pada bagian sebelum Yesus memulai pelayanan-Nya.   Dikatakan bahwa sebelum Ia memulai pelayanan-Nya, Yesus, oleh Roh Kudus dibawa ke padang gurun dan dicobai selama empatpuluh hari lamanya (Mar.2:12,13), yang sesungguhnya hendak menggambarkan saat-saat khusus dimana Yesus menggumuli panggilan-Nya untuk memberitakan Kerajaan Allah.

Padang gurun dengan binatang-binatang liar merupakan gambaran mengenai betapa berat tantangan yang akan diperhadapakan kepadaNya. Dalam konteks inilah kita memahami kisah pencobaan Yesus yang disaksikan oleh Matius dan Lukas, dimana dikatakan bahwa Yesus berpuasa selama empat puluh hari empatpuluh malam.

Dari sisi kemanusiaan Yesus, Iapun perlu penguatan dan kepercayaan diri menghadapi tugas yang dipercayakan kepada-Nya. Saat khusus dimana ia menggumuli panggilan-Nya, telah memberi Dia kekuatan dan kepercayaan diri. Iblis tidak bisa menang atas-Nya.  Dikatakan bahwa Iblis akhirnya meninggalkan Dia dan lihatlah malaikat-malaikat datang melayani Dia (Mat.4:11; Luk.4:13; Mark.1:13b).

Dalam Matius17:21, kita membaca kata-kata Yesus seperti ini : "jenis ini (kerasukan setan)  tidak dapat diusir kecuali dengan berdoa dan berpuasa. " Dalam Kitab Injil Markus, hanya dikatakan "jenis ini hanya dapat diusir, kecuali dengan berdoa" (Mar.9:29). Kalau kita perhatikan, ayat 21 dalam Matius 17 yang dikutip di atas, dalam terjemahan LAI diberi tanda kurung; artinya bahwa ada banyak naskah yang tidak mencantumkan ayat itu.

Demikianlah dalam terjemahan NRSV (New Revised Standard Version), begitu juga terjemahan The Greek New Testament,  ayat 21  itu tidak ada. Dalam ceritera yang sama, Lukas sama sekali tidak menyebut berpuasa dan atau berdoa itu. Apa yang ia mau tekankan dalam hal pengusiran setan itu, yaitu: percaya (Luk.9:41).

Dari sini, dapat kita mengerti (lepas dari catatan mengenai keragaman terjemahan) bahwa dengan menambahkan kata berpuasa pada naskah Markus menjadi: berdoa dan berpuasa, Matius mau memberi penekanan pada doa yang sungguh-sungguh, doa dalam iman atau percaya yang sungguh-sungguh.

Kesimpulan dan Beberapa Catatan Reflektif
Di Israel, puasa telah dipraktekkan oleh, baik perorangan, maupun sebagai umat atau bangsa, terutama ketika menghadapi situasi-situasi khusus yang menekan atau memberatkan, kesulitan, bahaya/ancaman perang, musuh, pemusnahan,  kelaparan, sakit dan kematian., sebagai tanda berkabung atau dalam keadaan sulit atau bergumul.

Puasa dilakukan untuk memberi makna intensitas doa atau permohonan yang disampaikan kepada Allah. Karena itu, dikatakan mereka berpuasa dan berdoa atau berdoa dan berpuasa. Doa dan puasa berjalan bersama-sama.

Intensitas doa itu tergambar dari waktu atau lamanya mereka berpuasa  dan berdoa : sepanjang hari, tiga hari, tujuh hari, bahkan empatpuluh hari. Puasa juga dihubungkan dengan hal merendahkan diri.

Dalam hal ini, puasa dihubungkan dengan upacara penyucian. Umat berpuasa sebagai akta merendahkan diri, karena dosa-dosa, untuk memohonkan pengampunan atau penyucian.   Jadi, puasa memberi makna pada kepentingan introspeksi dan koreksi diri yang melahirkan penyesalan dan pertobatan. Puasa, sesungguhnya hendak mendekatkan seseorang atau umat pada Tuhan.

Dengan berpuasa diharapkan umat akan menjalin komunikasi yang lebih intens dengan Tuhan. Dalam hal inilah, barangkali, menurut saya makna yang dapat kita petik dari praktek puasa di Israel.

Maksudnya ialah bahwa perlu bagi kita selaku jemaat, perorangan dan persekutuan untuk mengintensifkan saat-saat doa kita. Kita tidak harus mengambil satu hari  untuk berdoa terus menerus secara intensif, tetapi paling tidak, selain saat doa kita setiap hari, bahwa ada saat doa yang kita khususkan untuk hal-hal atau peristiwa-peristiwa tertentu (menghadapi masalah keluarga, pekerjaan di kantor, masaalah pelayanan, menghadapi ujian, krisis ekonomi, ketidakadilan, terorisme, dsb).

Bagaimana dengan kelompok-kelompok doa di jemaat-jemaat kita? Barangkali ibadah-ibadah Kolom atau katergorial dapat divariasikan dengan ibadah khusus doa dan puasa  untuk mendoakan situasi-situasi khusus yang dihadapi oleh anggota-anggota jemaat secara pribadi atau keluarga; tetapi juga dalam hubungan dengan persoalan-persoalan, tantangan-tantangan dan pergumulan-pergumulan yang dihadapi Gereja, masyarakat dan bangsa Indonesia serta bangsa-bangsa di dunia ini.

Ibadah- ibadah Hari Minggu sengsara Kristus, barangkali dapat juga divariasikan dengan Ibadah Puasa/Perenungan/Meditasi yang di dalamnya jemaat melakukan perenungan khusus tentang jalan derita Kristus pada satu pihak, dan pengkhianatan-pengkhianatan kita,  pada pihak lain.

Sebagaimana yang menjadi kritik nabi-nabi, tapi juga kritik Yesus, puasa dan doa kita tidak akan merupakan simbol keagamaan saja, suatu kemunafikan; demikianlah aspek penyembahan/ritual harus bermuara pada upaya-upaya peningkatan kesejahteraan, penegakan keadilan dan kebenaran (aspek diakonal).

Hal ini tentunya berkaitan dengan tugas kenabian kita selaku gereja di tengah-tengah masyarakat. Puasa diakonal yang telah diprogramkan oleh Gereja kita pada Minggu-minggu Peringatan Sengsara Kristus dimaksudkan untuk memberi makna khusus pada penghayatan tentang kasih dan solidaritas Kristus yang telah menderita dan taat sampai mati di kayu salib.

Karena itu, rasanya kurang pas, apabila pada minggu-minggu peringatan sengsara Kristus, kita berpesta pora. Di mana lagi kekhasan peringatan itu? Saya pikir ini juga berhubungan dengan suasana/dekorasi gedung atau tempat ibadah.

Puasa diakonal bukanlah sekedar program pengumpulan dana, tetapi sebagai bagian dari penghayatan kita mengenai kasih dan solidaritas Kristus, puasa diakonal menjadi tanda yang nyata dari kasih dan solidaritas kita dalam membangun kehidupan sejahtera, aman dan damai, benar dan  adil, serta penuh kasih.

Barangkali ada sasaran khusus puasa diakonal yang ditetapkan oleh Gereja (sinode) setiap tahun. Tetapi, pribadi dan keluarga dapat juga dari hasil perenungannya, menyatakan tanda kasih dan solidaritasnya kepada sesamanya.

Selain pada minggu-minggu peringatan sengsara Kristus, barangkali perayaan Minggu-minggu Advent, yang makna ritualnya  memang terkesan kurang dihayati secara khusus,  dapat divariasikan (misalnya minggu keempat) menjadi minggu puasa diakonal.

Melalui perkataan-Nya sebagaimana yang disaksikan oleh para penginjil (Mark.2:18-20 dan bagian paralelnya) kita memahami bahwa segala sesuatu telah digenapkan dalam Kristus. Kristus menjadi dasar dan pusat kehidupan dan pelayanan Gereja. Dengan demikian, bentuk pelayanan apapun yang kita layankan kepada sesama, sesungguhnya merupakan tanda ketaatan kita kepada

Kristus yang telah lebih dahulu mengasihi kita. Sesungguhnya kasih merupakan dasar dari segala sesuatu yang Gereja lakukan. Demikianlah juga kasih merupakan dasar dan tujuan pelaksanaan puasa itu. Yesus tidak mengkritik praktek puasa itu.

Dia mengkritik kemunafikan dan kecongkakan mereka yang membenarkan diri sendiri dengan berpuasa. Puasa dan semua aktivitas keagamaan Gereja akan menjadi sia-sia, jika tidak berdasar dan bermuara pada kasih itu. Yesus seperti yang disaksikan oleh para Penginjil mengambil waktu untuk menggumuli secara khusus panggilan ke-Mesiasan-Nya, sebelum Ia memulai tugas-Nya memberitakan Kerajaan Allah.

Demikianlah Penginjil Matius dan Lukas menyaksikan bahwa Yesus selama empatpuluh hari lamanya berpuasa. Bukan saja Yesus, tetapi jemaat di Antiokhia juga berdoa dan berpuasa dalam rangka pengutusan Saulus dan Barnabas (Kis. 13:3)

begitu juga rasul-rasul dan jemaat berdoa dan berpuasa untuk menyerahkan para penatua yang telah ditetapkan  itu kepada Tuhan (Kis.14:23). Kenyataan bahwa ada rekan-rekan pelayan khusus, pendeta, penatua atau syamas yang hidup dan pelayanannya  sering menyimpang dari panggilan yang sesungguhnya.

Ini tantangan dan pergumulan kita bersama.  Barangkali tentang hal itu kita selaku Gereja perlu melakukan ibadah doa dan puasa atau perenungan khusus. Sampai sejauh mana masa persiapan pendeta (vikariat) betul-betul menjadi wahana mempersiapkan calon pendeta sebagai pendeta yang bukan saja memiliki kualitas intelektual, emosional dan sosial yang memadai, tapi terutama  memiliki integritas yang tinggi pada panggilannya. Sudah waktunya barangkali untuk memikirkan  Tata Ibadah Peneguhan Pendeta  yang lebih kontemplatif.

Sumber ; Pdt.L.Pangaila-Kaunang

Thanks for reading Puasa Dalam Alkitab | Tags:

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »

Related Posts

Show Comments
Hide Comments

0 comments on Puasa Dalam Alkitab

Posting Komentar

Syalom mari memberi komentar dengan sopan sesuai dengan tujuan web, Komentar mengandung nilai negatif kamis hapus.saudara juga bisa berbagi pengalaman Inspirasi atau materi Khotbah serta Renungan Firman Tuhan dll disini.Terima kasih sudah berkunjung